Kata
kampung memiliki padanan dalam bahasa Manggarai yaitu beo dan golo. Kata beo dan golo sama-sama mengacu pada satuan tempat hunian tetapi antara beo dan golo memiliki perbedaan yang
mendasar. Sebuah kampung dapat disebut beo
jika mengandung lima karakteristik utama dalam konsep hunian Manggarai yaitu mbaru gendang, wae teku, compang, boa, dan
beo (satuan hunian genealogis). Konsep beo,
wau, dan gendang merupakan dasar
penting dalam pembentukan sebuah permukiman tradisional Sebuah golo meskipun terdapat mbaru gendang, wae teku, compang, dan boa belum tentu memiliki hubungan kekerabatan
sebagai satu keturunan wa’u (Lawang, 2004:67). Kampung Ruteng
dapat disebut beo karena memiliki
lima karakteristik utama yang
mempertegas identitas mereka sebagai penghuni kampung..
Pada
zaman dahulu lokasi kampung dipilih berdasarkan pertimbangan keamanan, dekat
dengan sumber air dan sumber makanan. Pertimbangan yang sama digunakan oleh
leluhur kampung Ruteng Pu’u dalam memilih lokasi kampung yang terletak diatas
sebuah bukit (golo), dekat dengan sumber air dan tanah garapan. Kampung Ruteng
Pu’u berbentuk lonjong dengan hunian yang mengelompok serta berpusat pada mbaru gendang dan mbaru tambor. Pada halaman (natas)
kampung terdapat sebuah bangunan megalitik yang disebut compang.(Lord Thomas)